A. Pengertian
Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukanpada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang, bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11 penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain, mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Hasil survey yang diambil dari beberapa negara menunjukkan bahwa 2 – 4 anak per 10.000 anak berpeluang menyandang autisme dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak laki – laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan anak perempuan (Purwati,2007).
Gangguan autis adalah salah satu perkembangan pervasif berawal sebelum usia 2,5 tahun (Devision, 2006). Anak Autisme mengalami gangguan perkembangan yang kompleks yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada otak, sehingga mengakibatkan gangguan pada perkembangan komunikasi, perilaku, kemampuan sosialisasi, sensori, dan belajar (Ginanjar, 2001).
Gangguan perkembangan organik dan bersifat berat yang dialami oleh anak autis menyebabkan anak mengalami kelainan dalam aspek sosial, bahasa (komunikasi) dan kecerdasan (sekitar 75 – 80 % retardasi mental) sehingga anak sangat membutuhkan perhatian, bantuan dan layanan pendidikan yang bersifat khusus (Hadis,2006).
Autisme merupakan gangguan perkembangan fungsi otak yang mencakup bidang sosial dan fungsi afek, komunikasi verbal (bahasa) dan non verbal, imajinasi, fleksibilitas, lingkup interest (minat), kognisi dan atensi. Biasanya perilaku-perilaku yang sering dilaporkan oleh orang tua pasien adalah keterlambatan berbicara dari anak-anak biasanya, perilaku aneh acuh dan tak acuh, atau cemas jika anaknya dicurigai tuli. Kebiasaan abnormal ini biasanya sudah terlihatpada anak berusia 3 tahun. Pada saat-saat inilah biasanya orang tua menyadari bahwa anaknya memiliki kelainan, walaupun tak sepenuhnya sama.
B. Etiologi Autis
Autisme dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di bawah ini adalah faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya autis menurut Kurniasih (2002) diantaranya yaitu:
1. Faktor Genetik
Faktor pada anak autis, dimungkinkan penyebabnya adanya kelainan kromosom yang disebutkan syndrome fragile – x (ditemukan pada 5-20% penyandang autis). Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara).
2. Faktor Cacat (kelainan pada bayi)
Disini penyebab autis dapat dikarenakan adanya kelainan pada otak anak, yang berhubungan dengan jumlah sel syaraf, baik itu selama kehamilan ataupun setelah persalinan, kemudian juga disebabkan adanya Kongenital Rubella, Herpes Simplex Enchepalitis, dan Cytomegalovirus Infection.
3. Faktor Kelahiran dan Persalinan
Proses kehamilan ibu juga salah satu faktor yang cukup berperan dalam timbulnya gangguan autis, seperti komplikasi saat kehamilan dan persalinan. Seperti adanya pendarahan yang disertai terhisapnya cairan ketuban yang bercampur feces, dan obat-obatan ke dalam janin, ditambah dengan adanya keracunan seperti logam berat timah, arsen, ataupun merkuri yang bisa saja berasal dari polusi udara, air bahkan makanan.
4. Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.
5. Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak
Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang memiliki banyak sebab, sekaligus penyebabnya tidak sama dari satu kasus ke kasus lainnya. Padahal, penyebab-penyebab itu tidak berdiri sendiri, dengan kata lain sangat sulit menentukan penyebab tunggal dari gangguan autisme. Bahkan hingga kini belum bisa ditegakkan penyebab pasti autisme. (Kurniasih, 2002).
Banyak pakar telah sepakat bahwa pada otak anak di jumpai suatu kelainan pada otaknya. Ada 3 lokasi di otak yang ternyata mengalami kelainan neuro-anatomis. Dari penelitian yang dilakukan oleh pakar dari banyak negara diketemukan beberapa fakta yaitu adanya kelainan anatomis pada lobus parietalis, cerebellum dan sistem limbik. 43% penyandang autisme mempunyai kelainan pada lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak cuek terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (cerebellum), terutama pada lobus VI dan VII. Otak kecil bertanggungjawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian) (Purwati,2007).
Pada penelitian terhadap otopsi, ditemukan bahwa sel – sel di dalam cerebellum, yang disebut sel purkinye, sangat sedikit jumlahnya, sedangkan sel – sel ini mempunyai kandungan serotonin (neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk hubungan di antara sel – sel otak) yang tinggi (Maulana,2007).
Pada 30% penyandang autisme serotonin kadarnya tinggi dalam darah dan dopamin diduga kadarnya rendah dalam darah. Selain itu, pada anak autis juga mengalami penurunan kadar endorphin yang dibutuhkan dalam pengaturan aktifitas otak (Masra,2005).
Dengan kata lain ketidakseimbangan antara neurotransmitter di dalam otak akan menyebabkan kacaunya lalu lalang impuls di dalam otak (Maulana,2007).Ditemukan pula kelainan yang khas di daerah sistem limbik yang disebut hippocampus dan amygdala. Akibatnya terjadi gangguan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi. Anak kurang dapat mengendalikan emosinya, seringkali terlalu agresif atau sangat pasif. Amygdala juga bertanggungjawab terhadap berbagai rangsang sensoris seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, perasa, dan rasa takut. Hippocampus bertanggungjawab terhadap fungsi belajar dan daya ingat. Terjadilah kesulitan penyampaian informasi baru (Purwati,2007).
C. Tanda dan Gejala Awal Autis
Gejala autisme timbul sebelum anak mencapai usia 3 tahun. Pada sebagian anak, tanda dan gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya bisa melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai 1 tahun. Yang sangat menonjol adalah tidak adanya bahasa atau sangat kurangnya tatap mata. Menurut Judarwanto (2006), berikut adalah tanda-tanda awal mengenali gejala autis:
1. Gambaran yang paling umum terjadi, biasanya merupakan bayi yang sangat manis dan baik, namun sangat pasif dan sangat pendiam seperti tidak mempunyai bayi di rumah.
2. Sebagian kecil justru sebaliknya, menjerit sepanjang waktu tanpa berhenti, tanpa dapat ditenangkan / dibujuk, orang tua tidak tahu apa sebabnya
3. Tidak menunjuk saat usia 1 tahun , tidak mengoceh
4. Usia 16 bulan, belum keluar satu katapun
5. Usia 2 tahun belum bisa merangkai 2 kata
6. Hilangnya kemampuan berbahasa
7. Tidak bisa main pura-pura (Pretend Play)
8. Kurang tertarik untuk berteman
9. Sangat sulit untuk memusatkan perhatian
10. Tidak ada respon bila dipanggil namanya
11. Kontak mata sangat minim / tidak ada gerakan tubuh yang repetitive
Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak:
1. Pada masa bayi
Terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak
Anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah
Tidak adanya kontak mata
Memberikan kesan jauh atau tidak mengenal
Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan
Bermainan cenderung tanpa imajinasi
Komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu
Tampak berteriak-teriak.
2. Pada masa anak-anak dan remaja,
Anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu
Tercengggang pada suara lainnya
Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan
Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi telegramatik.
Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu
Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian bukan menyeluruh)
Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya.
Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapt menyita perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang menyenangkan atau stres.
Kelainann lain adalah destruktif , marah berlebihan dan akurangnya istirahat.
Pada masa remaja perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual pada orang asing.
D. Jenis Autisme
Berdasarkan waktu munculnya gangguan, Kurniasih (2002) membagi autisme menjadi dua yaitu:
1. Autisme sejak bayi (Autisme Infantil)
Anak sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak non autistik, dan biasanya baru bisa terdeteksi sekitar usia bayi 6 bulan.
2. Autisme Regresif
Ditandai dengan regresif (kemudian kembali) perkembangan kemampuan yang sebelumnya jadi hilang. Yang awalnya sudah sempat menunjukkan perkembangan ini berhenti. Kontak mata yang tadinya sudah bagus, lenyap. Dan jika awalnya sudah bisa mulai mengucapkan beberapa patah kata, hilang kemampuan bicaranya. (Kurniasih, 2002).
Sedangkan Yatim, Faisal Yatim (dalam buku karangan purwati, 2007) mengelompokkan autisme menjadi 3 kelompok :
1. Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut autisme internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir
2. Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak usia lebih besar (6 – 7 tahun) sebelum anak memasuki tahap berfikir logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang dan kadang – kadang disertai kejang – kejang.
3. Autisme Yang Timbul Kemudian .
E. Hambatan – hambatan dan gangguan yang Terjadi pada Anak Autis
Dari adanya tanda dan gejala yang tampak pada anak autis berdasarkan pendapat Masra (2005), berbagai masalah/gangguan atau hambatan pun muncul, diantaranya yaitu:
1. Hambatan kualitatif dalam interaksi social Interaksi sosial pada anak autis diatur dibagi dalam 3 kelompok yaitu:
a. Menyendiri (aloof) : banyak terlihat pada anak-anak yang menarik diri, acuh tak acuh, dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku serta perhatian yang terbatas (tidak hangat)
b. Pasif : dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola permainan disesuaikan dengan dirinya.
c. Aktif tetapi aneh : secara spontan akan mendekati anak lain namun seringkali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.Hambatan sosial pada anak autisme akan berubah sesuai dengan perkembangan usia. Biasanya, dengan bertambahnya usia maka hambatan tampak semakin berkurang.
2. Hambatan kualitatif dalam komunikasi verbal / non verbal dan dalam bermain.
Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa serta berbicara merupakan keluhan yang sering diajukan oleh para orang tua, sekitar 50 % mengalami sebagai berikut :
a. Bergumam yang biasanya muncul sebelum dapat mengucapkan kata-kata, mungkin tidak tampak pada anak autis.
b. Sering mereka tidak memahami ucapan yang diajukan pada mereka.
c. Biasanya mereka tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan keinginannya ; tetapi dengan mengambil tangan orang tuanya untuk mengambil objek yang dimaksud.
d. Mereka mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata serta kesukaran dalam menggunakan bahasa dalam konteks yang sesuai dan benar.
e. Bahwa satu kata mempunyai banyak arti mungkin sulit untuk dapat dimengerti oleh makna.
f. Anak autisme sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar sebelumnya tanpa maksud untuk berkomunikasi.
g. Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan terbalik, seperti “saya” menjadi kamu.
h. Penggunaan bahasa kiasan yang aneh.
i. Bahasa monoton, kaku dan menjemukan.
j. Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan emosi.
k. Komunikasi non verbal juga mengalami gangguan.
F. Kriteria Diagnosis Anak dengan Autisme
Depdiknas (2002) yang dikutip oleh Hadis (2006), mendeskripsikan karakteristik anak autis berdasarkan jenis masalah atau gangguan yang dialami oleh anak autis. Ada 6 jenis masalah atau gangguan yang dialami oleh anak autis, yaitu masalah komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, gangguan pola bermain, gangguan perilaku, dan gangguan emosi. Keenam jenis masalah atau gangguan ini masing – masing memiliki karakteristik. Karakteristik dari masing – masing jenis masalah/gangguan tersebut dideskripsikan sebagai berikut :
1. Masalah/gangguan di bidang komunikasi :
a. Perkembangan bahasa anak autis lambat atau sama sekali tidak ada. Anak nampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara lalu kemudian hilang kemampuan bicara.
b. Terkadang kata – kata yang digunakan tidak sesuai artinya.
c. Mengoceh tanpa arti secara berulang – ulang, dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain.
d. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi. Senang meniru atau membeo (Echolalia).
e. Bila senang meniru, dapat menghafal kata – kata atau nyanyian yang didengar tanpa mengerti artinya.
f. Sebagian dari anak autis tidak berbicara (bukan kata – kata) atau sedikit berbicara (kurang verbal) sampai usia dewasa.
g. Senang menarik – narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang dia inginkan, misalnya bila ingin meminta sesuatu.
2. Masalah/gangguan di bidang interaksi sosial :
a. Anak autis lebih suka menyendiri
b. Anak tidak melakukan kontak mata dengan orang lain atau menghindari tatapan muka atau mata dengan orang lain.
c. Tidak tertarik untuk bermain bersama dengan teman, baik yang sebaya maupun yang lebih tua dari umurnya.
d. Bila diajak bermain, anak autis itu tidak mau dan menjauh.
3. Masalah/gangguan di bidang sensoris :
a. Anak autis tidak peka terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk.
b. Anak autis bila mendengar suara keras langsung menutup telinga.
c. Anak autis senang mencium –cium, menjilat mainan atau benda – benda yang ada disekitarnya.
d. Tidak peka terhadap rasa sakit dan rasa takut.
4. Masalah/gangguan di bidang pola bermain :
a. Anak autis tidak bermain seperti anak – anak pada umumnya.
b. Anak autis tida suka bermain dengan anak atau teman sebayanya.
c. Tidak memiliki kreativitas dan tidak memiliki imajinasi.
d. Tidak bermain sesuai fungsinya, misalnya sepeda dibalik lalu rodanya diputar – putar.
e. Senang terhadap benda – benda yang berputar seperti kipas angin, roda sepeda, dan sejenisnya.
f. Sangat lekat dengan benda – benda tertentu yang dipegang terus dan dibawa kemana – mana.
5. Masalah/gangguan di bidang perilaku :
a. Anak autis dapat berperilaku berlebihan atau terlalu aktif (hiperaktif) dan berperilaku berkekurangan (hipoaktif).
b. Memperlihatkan perilaku stimulasi diri atau merangsang diri sendiri seperti bergoyang –goyang, mengepakkan tangan seperti burung.
c. Berputar –putar mendekatkan mata ke pesawat televisi, lari atau berjalan dengan bolak – balik, dan melakukan gerakan yang diulang – ulang.
d. Tidak suka terhadap perubahan.
e. Duduk bengong dengan tatapan kosong.
6. Masalah/gangguan di bidang emosi :
a. Anak autis sering marah – marah tanpa alasan yang jelas, tertawa – tawa dan menangis tanpa alasan yang jelas.
b. Dapat mengamuk tak terkendali jika dilarang atau tidak diberikan keinginannya.
c. Kadang agresif dan merusak.
d. Kadang – kadang menyakiti dirinya sendiri.
e. Tidak memiliki empati dan tidak mengerti perasaan orang lain yang ada disekitarnya atau didekatnya.
Rumusan diagnostik lain yang juga dipakai di seluruh dunia untuk menjadi panduan diagnosis adalah yang disebut DSM-IV (Diagnostic and Statistical Manual) 1994, yang dibuat oleh grup psikiatri dari Amerika (Maulana,2007).Untuk mempermudah pengertian, berikut sedikit pembahasan mengenai DSM-IV:
1. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3), dengan minimal dua gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3).
a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala di bawah ini :
1) Tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai; kontak mata sangat kurang, ekspresi wajah kurang hidup, gerak – gerik yang kurang terfokus.
2) Tak bisa bermain dengan teman sebaya.
3) Tak dapat merasakan dengan apa yang dirasakan orang lain.
4) Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
b. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala – gejala di bawah ini :
1) Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).
2) Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.
3) Sering menggunakan bahasa yang aneh dan di ulang – ulang.
4) Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif, dan kurang bisa meniru.
c. Suatu pola yang dipertahankan dan diulang – ulang dalam perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala di bawah ini :
1) Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan cara yang sangat khas dan berlebih – lebihan.
2) Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada gunanya.
3) Ada gerakan – gerakan yang aneh yang khas dan diulang – ulang.
4) Sering kali sangat terpukau pada bagian – bagian benda.
2. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang :
a. interaksi sosial,
b. bicara dengan berbahasa,
c. cara bermain yang kurang variatif.
3. Bukan disebabkan oleh sindroma Rett Gangguan disintegratif Masa Kanak – kanak (Maulana, 2007).
G. Hambatan – hambatan dan gangguan yang Terjadi pada Anak Autis
Dari adanya tanda dan gejala yang tampak pada anak autis berdasarkan pendapat Masra (2005), berbagai masalah/gangguan atau hambatan pun muncul, diantaranya yaitu:
1. Hambatan kualitatif dalam interaksi sosialInteraksi sosial pada anak autis diatur dibagi dalam 3 kelompok yaitu:
a. Menyendiri (aloof) : banyak terlihat pada anak-anak yang menarik diri, acuh tak acuh, dan kesal bila diadakan pendekatan sosial serta menunjukkan perilaku serta perhatian yang terbatas (tidak hangat)
b. Pasif : dapat menerima pendekatan sosial dan bermain dengan anak lain jika pola permainan disesuaikan dengan dirinya.
c. Aktif tetapi aneh : secara spontan akan mendekati anak lain namun seringkali tidak sesuai dan sering hanya sepihak.Hambatan sosial pada anak autisme akan berubah sesuai dengan perkembangan usia. Biasanya, dengan bertambahnya usia maka hambatan tampak semakin berkurang.
2. Hambatan kualitatif dalam komunikasi verbal / non verbal dan dalam bermain.Keterlambatan dan abnormalitas dalam berbahasa serta berbicara merupakan keluhan yang sering diajukan oleh para orang tua, sekitar 50 % mengalami sebagai berikut :
a. Bergumam yang biasanya muncul sebelum dapat mengucapkan kata-kata, mungkin tidak tampak pada anak autis.
b. Sering mereka tidak memahami ucapan yang diajukan pada mereka.
c. Biasanya mereka tidak menunjukkan atau memakai gerakan tubuh untuk menyampaikan keinginannya ; tetapi dengan mengambil tangan orang tuanya untuk mengambil objek yang dimaksud.
d. Mereka mengalami kesukaran dalam memahami arti kata-kata serta kesukaran dalam menggunakan bahasa dalam konteks yang sesuai dan benar.
e. Bahwa satu kata mempunyai banyak arti mungkin sulit untuk dapat dimengerti oleh makna.
f. Anak autisme sering mengulang kata-kata yang baru saja mereka dengar sebelumnya tanpa maksud untuk berkomunikasi.
g. Bila bertanya sering menggunakan kata ganti orang dengan terbalik, seperti “saya” menjadi kamu.
h. Penggunaan bahasa kiasan yang aneh.
i. Bahasa monoton, kaku dan menjemukan.
j. Kesukaran dalam mengekspresikan perasaan emosi.
k. Komunikasi non verbal juga mengalami gangguan
Menurut Paul 1987, sekitar 50 % anak-anak autistik tidak pernah belajar bicara sama sekali. Sementara itu, pada mereka yang belajar bicara, bicaranya mencakup berbagai keanehan. Salah satu caranya adalah ekolalia, dimana si anak mengulangi, biasanya dengan ketepatan yang luar biasa, perkataan orang lain yang didengarnya (Masra,2005).
Ekolalia dibedakan menjadi 2 yaitu :
(1) Ekolalia Langsung
jika si anak menirukan pembicaraan / perkataan orang lain saat itu juga, dan
(2) Ekolalia Tertund
apabila si anak mendengar suatu perkataan dari televisi dan beberapa jam kemudian bahkan keesokan harinya si anak dapat mengulang satu kata atau kalimat dalam program televisi tersebut (Masra,2005).
Kata-kata ciptaan atau bahasa yang digunakan dengan cara tidak biasa, merupakan karakteristik dalam pembicaraan anak-anak autistik. Kelemahan komunikasi tersebut dapat menjadi penyebab kelemahan sosial pada anak-anak dengan autisme dan bukan sebaliknya. Meskipun demikian sekalipun mereka telah belajar berbicara, orang-orang dengan autisme seringkali kurang tepat dalam penggunaan bahasanya (Masra,2005).
3. Gangguan Kognitif
Hampir 75-80 % anak autis mengalami retardasi mental dengan derajat rata-rata sedang. Sebanyak 50 % dari idiot sefants, yakni anak dengan retardasi mental yang menunjukkan kemampuan luar biasa, seperti menghitung kalender, memainkan satu lagu hanya dari sekali mendengar, mengingat nomor-nomor telepon, dan sebagainya.
4. Gangguan Perilaku Motorik
Kebanyakan anak autisme menunjukkan adanya stereotip, seperti bertepuk-tepuk tangan dan menggoyangkan tubuh. Hiperaktif biasanya juga terutama pada usia prasekolah, namun sebaliknya dapat terjadi hipoaktif. Beberapa anak juga didapatkan gangguan pemusatan perhatian. Juga didapatkan adanya koordinasi motorik yang terganggu, kesulitan belajar mengikat tali sepatu, menyikat gigi, memotong makanan dan mengancing baju.
5. Respon Abnormal tehadap Perangsangan Indera
Beberapa anak menunjukkan Hipersensitivitas terhadap suara dan menutup telinganya bila mendengar suara yang keras seperti suara petasan, sirine polisi, gonggongan anjing. Mereka mungkin sangat sensitif terhadap sentuhan, ada juga anak yang tidak peka terhadap rasa sakit dan tidak menangis saat mengalami luka yang parah. Anak mungkin tertarik pada rangsangan indera tertentu seperti objek yang berputar.
6. Gangguan Tidur dan Makanan
Gangguan tidur berupa terbaliknya pola tidur, sering terbangun tengah malam. Gangguan makan berupa keengganan terhadap makanan tertentu karena tidak menyukai tekstur atau baunya.
7. Gangguan Afek dan Mood
Beberapa anak menunjukkan perubahan mood yang tiba-tiba, mungkin menangis atau tertawa tanpa alasan yang jelas. Sering tampak tertawa sendiri, dan beberapa anak tampaknya menjadi emosional. Rasa takut yang berlebihan kadang-kadang muncul terhadap objek yang sebetulnya tidak menakutkan.
8. Perilaku yang Membahayakan Diri Sendiri dan Agresifitas Melawan orang lain.
Ada kemungkinan mereka menggigit tangan atau jarinya sendiri sampai berdarah, membentur-benturkan kepala, mencabut, menarik rambutnya sendiri, atau memukul diri sendiri, begitu juga dengan tempertantrums (Masra, 2005).
H. Pemeriksaan Medis pada Anak Autis
Pemeriksaan medis yang dilakukan pada anak autisme adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan neutrologis, tes neutropsikologis, tes pendengaran, tes penglihatan, MRI (Magnetic Resonance Imaging), EEG (Electro Enchepalogram).
Pemeriksaan sitogenetik, pemeriksaan darah, dan pemeriksaan urine (Masra, 2005).Berbagai langkah pemeriksaan tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui penyebabnya sehingga intervensi yang diberikan sesuai atau tepat.
I. Diagnosis Banding
Menurut Masra (2005), gangguan Autisme harus dibedakan dengan:
1. Retardasi Mental
Keterampilan sosial dan komunikasi verbal atau non verbal pada anak retardasi mental sesuai dengan usia mental mereka. Tes intelegensi biasanya menunjukkan suatu penurunan yang menyeluruh dari berbagai tes. Berbeda dengan anak autis yang hasil tesnya tidak menunjukkan hasil yang rata-rata sama. Kebanyakan anak dengan saraf retardasi yang berat dan usia mental yang sangat rendah menunjukkan tanda-tanda autisme yang khas, seperti gangguan dalam interaksi sosial, stereotip dan buruknya kemampuan berkomunikasi.
2. Schizofrenia
Kebanyakan anak dengan schizofrenia secara umum tampak normal pada saat bayi sampai usia 2 -3 tahun, dan baru kemudian muncul halusinasi, gejala yang tidak terdapat pada autisme. Biasanya anak dengan schizofrenia tidak retardasi mental, sedangkan pada autisme sekitar 75 – 80 % adalah retaradasi mental.
3. Gangguan Perkembangan Bahasa
Kondisi ini menunjukkan adanya gangguan pemahaman dan dalam mengekspresikan pembicaraan, namun komunikasi non verbalnya baik dengan memakai gerakan tubuh dan ekspresi wajah. Juga tidak ditemukan adanya stereotip dan gangguan yang berat dalam interaksi sosial.
4. Gangguan Penglihatan dan Pendengaran
Mereka yang buta dan tuli tidak akan bereaksi terhadap rangsang lingkungan sampai gangguannya terdeteksi dan memakai alat bantu khusus untuk mengoreksi kelainannya.
J. Prognosis Autisme
Walaupun kebanyakan anak autisme menunjukkan perbaikan dalam hubungan sosial dan kemampuan berbahasa seiring dengan meningkatnya usia, gangguan autisme tetap meninggalkan ketidak mampuan yang menetap. Mayoritas dari mereka tidak dapat hidup mandiri dan membutuhkan perawatan di institusi ataupun membutuhkan supervisi terus (Masra, 2005).
K. Penatalaksanaan atau Program Terapi pada Autisme
Menurut pendapat Masra (2005), ada banyak terapi yang bisa diterapkan semua bertujuan membantu penyandang autis mengejar ketertinggalannya. Seiring dengan meningkatnya jumlah kaum autis, kian bervariasi pula cara pendekatan yang dilakukan untuk menanggulanginya. Masing - masing pendekatan ini tentu saja tergantung dari profesi sosok yang ditangani si penyandang autisme. Seorang psikologi contohnya, mungkin cenderung melatih terapi tingkah laku. Sementara psikiatri atau dokter menerapkan terapi biomedikasi.Mengingat penyebab pasti autisme belum diketahui dan sifatnya sangat individu, penanganannya tidak diarahkan untuk menghilangkan sumber masalah. Artinya autisme berbeda dengan penyakit TBC misalnya yang harus dibasmi keenam kuman tertentu yang menjadi penyebabnya. Sementara autisme merupakan gangguan kompleks yang tidak bisa semata-mata berpatok pada hasil pemeriksaan laboratorium. Jadi semakin dini terdeteksi dan mendapat penanganan yang tepat akan dapat tercapai hasil yang optimal.
Berbagai macam program terapi yang bisa diterapkan pada anak autisme, diantaranya yaitu :
1. Pendekatan Edukatif
Anak dengan autisme seharusnya mendapat pendidikan khusus. Rencana pendidikan sebaiknya dibuat secara individual sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Yang terbaik bagi mereka adalah suatu bentuk pelatihan yang sangat terstruktur, sehingga kecil kesempatan bagi anak untuk melepaskan diri dari teman-temannya, dan guru akan segera bertindak bila melihat anak melakukan aktivitas sendiri. Dalam pelajaran bahasa, anak lebih mudah mengembangkan kemampuannya dalam berkomunikasi bila fokus pembicaraan mengenai hal-hal yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada beberapa anak bisa dicoba dengan melatih bahasa isyarat
2. Psikoterapi
Psikoterapi individual dapat membantu mereka mengatasi kecemasan / depresi maupun perasaan tertekan karena merasa dirinya berbeda dengan orang lain. Tepatnya, yang bersangkutan akan diajarkan berperilaku sosial yang tepat. Dengan demikian, depresi sosialnya yang kaku dan terbatas, diharapkan dapat diatasi secara perlahan. Konseling kelompok ini sebaiknya diberikan ketika diagnosis autisme pertama kali diberikan hingga akan memberi manfaat pada orang tua untuk membantu menerima kenyataan pahit tersebut.
3. Terapi Tingkah LakuDasar
pemikirannya, perilaku yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan bisa dikontrol / dibentuk dengan sistem reward dan punishment. Pemberian reward akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan punishment akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.Salah satu metode yang berbasis paham behavioristik ini adalah metode lovaas yang aslinya disebut Applied Behavioristik Analysis (ABA) ini adalah metode. Hal penting yang perlu diingat mengenai terapi tingkah laku adalah pendekatan yang bersifat individual. Artinya anak yang akan mengikuti terapi ini harus dianalisis dulu, tingkah laku apa saja yang ditampilkan saat ini. Kelebihannya, terapi ini dapat diberikan pada siapa saja, bahkan pada anak yang masih sangat muda usianya.
4. Terapi Biomedikasi
Terapi ini menggunaan bantuan obat-obatan untuk mengontrol gejala autisme. Yang jelas terapi ini tidak dimaksudkan untuk mengoreksi kelaian susunan syaraf yang ditemukan pada penyandang autis. Melainkan memanipulasi kerja neurotransmitter agar penyandang autis berperilaku normal. Pemberian obatpun bersifat sementara, artinya hanya digunakan saat perkembangan si anak terganggu. Karena anak penyandang autis masih dalam tahap tumbuh kembang sehingga bila sel otak anak yang baru sudah menggantikan fungsi sel otak yang rusak maka obat-obatan tidak diperlukan lagi.Dosis terendah digunakan untuk mempertahankan terapi dan perlu juga diikuti oleh "drug holiday" yaitu waktu-waktu bebas obat.
Tujuannya yaitu untuk mengistirahatkan tubuh dari kerja obat. Selama mengikuti terapi ini tekanan darah, denyut jantung, kandungan obat dalam darah, jumlah sel darah, fungsi liver dan ginjal serta tinggi dan berat badan harus dikontrol. Bila pemberian dengan dosis tertentu menunjukkan perbaikan (improvement) dalam perilaku yang terkontrol obat tertentu maka setelah waktu tertentu dosisnya akan diturunkan. Jika setelah dosisnya diturunkan anak menunjukkan gejala yang meningkat biasanya dosis akan kembali dinaikkan dan harus dipantau
Obat-obatan yang digunakan antara lain :
a. Antipsikotik : Untuk memblok reseptor dopamin.
b. Fenfluramine : Untuk menurunkan serotonin
c. Nalfresone : Untuk antagoniss opioidad.
d. Simpatomimetik : Untuk menurunkan hiperaktivitase.
e. Clompramine : Untuk anti depresif.
f. Clonidine : Untuk menurunkan aktivitas moradrenergik
Selain terapi diatas ada terapi tambahan lainnya yaitu, terapi wicara, terapi sensori integration, terapi musik, terapi diet, dll.
L. Diet Untuk Anak Autis
Intervensi diet dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi gejala autisme, meningkatkan kualitas hidup, serta memberikan status nutrisi yang baik .
Macam Diet
1. Diet bebas gluten dan casein (Gluten free, casein free)
Diet ini dengan cara menghindarkan semua produk yang mengandung gluten seperti biskuit, mi, roti, kue, makaroni, spageti, cake atau makanan kemasan lain dari terigu. Sedangkan casein diperoleh dari makanan atau minuman yang mengandung susu sapi, seperti keju, mozarella, butter, atau permen, mentega dan yogurt.
Diet tanpa gluten dihentikan apabila pertumbuhan jamur candida di usus dalam batas normal. Pertumbuhan candida bisa dilihat dengan pemeriksaan feses.
Efek diet bebas casein (susu) dilakukan dengan menjauhkan semua makanan dari susu . Bisa dicoba selama 3 minggu lalu lihat perkembangannya. Jika anak banyak konsumsi gluten, maka peptida akan masuk ke dalam jaringan tubuh dan disimpan sebagai lemak. Diet gluten diberikan sedikitnya 3 bulan, dengan melihat perkembanganya. Peptida juga dapat memberikan efek toksik pada sistem saraf sentral.
Banyak kasus yang menunjukkan kemajuan. Setelah dilakukan diet bebas gluten 7-9 bln. Ada yang baru terlihat setelah 2 tahun. Susu sapi dan gandum bagi autis tertentu bersifat morfin. Karena protein susu sapi (casein) dan protein gandum (gluten) membentuk kaseomorfin dan gluteomorfin, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gangguan perilaku seperti hiperaktif. Hal itu terjadi karena kebocoran saluran cerna sebagai akibat tidak seimbangnya bakteri dan jamur. Ketidakseimbangan ini biasanya diakibatkan oleh pemakaian antibiotika yg berlebihan yang akan meningkatkan permeabilitas usus. Antibiotika dapat membunuh bakteri flora usus seperti laktobasilus. Sedangkan jamur terutama candida akan tumbuh berlebihan yang akan mengakibatkan selaput dinding usus terganggu.
Dengan terganggunya selaput usus akan menyebabkan berbagai makromolekul protein susu sapi atau zat toksik melewati dinding saluran cerna ke darah. Akibatnya bisa terjadi gangguan susunan dan fungsi otak yang mengakibatkan gangguan tingkah laku, gangguan perkembangan dan gangguan proses belajar.
2. Diet Bebas Jamur
Diet ini bertujuan untuk mencegah timbulnya kembali infeksi jamur dalam usus. Dilakukan dengan diet rendah gula sederhana. Gula sederhana adalah makanan utama dari jamur yang ada dalam usus penderita autis.
Hasil metabolit dari jamur sering timbulkan kelainan perilaku, sehingga untuk pengganti gula sederhana adalah dengan konsumsi hidrat arang kompleks. Sesuai namanya, semua jenis makanan yang diolah dengan proses fermentasi seperti kecap, tauco, keju, serta kue yang dibuat dengan menggunakan soda pengembang, vermipan, atau sejenisnya, tidak diberikan. Begitu juga makanan yang sudah lama disimpan atau buah-buahan yang dikeringkan
3. Diet Bebas Zat Aditif
Zat aditif ini termasuk pewarna, penambah rasa monosodium glutamate(MSG), pengawet, pengemulsi. Yang perlu dihindari adalah penambah rasa MSG, penambah aroma, pewarna sintetis, pemanis buatan (aspartama dan sakarin, kafein, polibate nitrat nitrit (pengawet daging).
Sebagai gantinya, untuk memberi warna pada makanan, digunakan pewarna alami seperti daun pandan, daun suji, kunyit, dan bit.
Kebanyakan zat aditif mengandung fenol.Untuk memecah fenol memerlukan sulfur. Sulfur merupakan indikator yang kuat pada hati dan diperlukan untuk proses detoksifikasi. Beberapa zat pewarna dapat merusak DNA yang akan menyebabkan mutasi genetic MSG juga dapat mempengaruhi organ penting, seperti saraf otak.
4. Konsumsi Makanan
Bagi penyandang autis dianjurkan untuk minum air mineral kemasan atau air yang telah melalui penyaringan, minimal delapan gelas sehari. Hindari makanan junk food, karena makanan ini selain gizinya tidak seimbang, banyak terbuat dari tepung dan sering mengandung lemak jenuh.
5. Suplementasi
Anak autism umumnya mengalami defisiensi vitamin dan mineral akibat perlakuan diet yang cukup ketat. Dengan demikian, dibutuhkan suplemen makanan seperti kalsium, magnesium, zinc, selenium, vitamin A, B6, C, E, asam lemak esensial, asam amino, kolostrum, enzim, probiotik. (Nuryanto, S.Gz-11).
REFERENSI :
http://asuhankeperawatananak.blogspot.com/2008/09/Autisme.html
http://ekspresikanjiwamu.blogspot.com/2009/05/Askep Autisme.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kategori:Autisme.html
http://webmail.autism-aware.info/Makalah autis.html
http://www.klikdokter.com/indeks penyakit/autisme.html
http://www.suaramerdeka.com/ragam 01/anak autis perlu diet..html
No comments
Komentarnya yaa...